GETAH PINUS PACITAN
Kabupaten Pacitan merupakan salah satu wilayah di Propinsi Jawa Timur yang secara geografis terletak antara 7055’-8,170 LS dan 110055’-1110-25’ BT dengan luas daerah 1.389,8716 km2. Batas-batas Kabupaten Pacitan meliputi : sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah), sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo (Jawa Timur), sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Trenggalek (Jawa Timur) dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.
Wilayah Kabupaten Pacitan sebagian besar berupa bukit dan gunung, jurang terjal dan termasuk deretan Pegunungan Seribu yang membujur sepanjang Pulau Jawa. Secara keseluruhan, daerahnya bergelombang (kira-kira sekitar 88%). Gunung tertinggi adalah Gunung Limo yang terletak di Kecamatan Kebonagung dan Gunung Gembes di Kecamatan Bandar. Gunung Gembes sekaligus merupakan mata air dari Sungai Grindulu yang merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Kabupaten Pacitan. Adapun perbandingan keadaan lahan secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel berikut :
Ø Tabel Keadaan Lahan, Kelas Kelerengan, Luas Lahan, dan Persentase
No. Keadaan Lahan Kelas Kelerengan
(º) Luas Lahan (km2) Persentase (%)
1. Datar 0-5 55,59 4
2. Berombak 6-10 138,99 10
3. Bergelombang 11-30 333,57 24
4. Berbukit 31-50 722,73 52
5. Bergunung > 51 138,99 10
Sumber : BPS Kabupaten Pacitan (Kabupaten Pacitan dalam Angka 2006)
Ketinggian Kabupaten Pacitan untuk tiap kecamatan penyebarannya tidak sama dan sangat variatif. Nilai terendah dari mulai ketinggian 0 m dpl hingga tertinggi hampir mencapai 1.000 m dpl. Secara lebih lengkap ketinggian untuk tiap kecamatan adalah seperti yang tercantum dalam tabel di bawah ini :
Ø Tabel Ketinggian Tempat Tiap-Tiap Kecamatan di Kabupaten Pacitan
No. Kecamatan Ketinggian Tempat (m dpl)
1. Pacitan 0-7
2. Kebonagung 0-7
3. Donorojo 338
4. Punung 229
5. Pringkuku 357
6. Arjosari 26
7. Nawangan 668
8. Bandar 964
9. Tegalombo 194
10 Tulakan 334
11. Ngadirojo 10
12. Sudimoro 9
Sumber : BPS Kabupaten Pacitan (Kabupaten Pacitan dalam Angka 2006)
Kabupaten Pacitan berdasarkan atas penggunaan tanah terdiri dari lahan sawah seluas 130,15 km2 dan lahan kering seluas 1.259,72 km2. Untuk lahan kering menurut jenis penggunaannya meliputi : tanah untuk bangunan 3.153 Ha; tegal/huma 29.891 Ha; tanaman kayu-kayuan 45.214 Ha; hutan rakyat dan kebun 34.969 Ha; hutan negara 1.214 Ha dan tanah lainnya 11.531 Ha. Secara lebih rinci luas daerah Kabupaten Pacitan menurut jenis pengunaan tanahnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Ø Tabel Luas Daerah Kabupaten Pacitan Menurut Jenis Penggunaan Tanahnya
No. Kecamatan Tanah Sawah
(km2) Tanah Kering
(km2) Jumlah
(km2)
1. Donorojo 0,8449 108,2473 109,0922
2. Punung 7,0298 101,7767 108,8065
3. Pringkuku 4,4680 128,4574 132,9254
4. Pacitan 12,0653 65,0434 77,1087
5. Kebonagung 17,5280 107,3187 124,8467
6. Arjosari 8,7217 108,3412 117,0629
7. Nawangan 19,3126 104,7427 124,0553
8. Bandar 16,7730 100,5679 117,3409
9. Tegalombo 12,1674 137,0895 149,2569
10. Tulakan 18,1745 143,4403 161,6148
11 Ngadirojo 7,9474 87,9580 95,9054
12. Sudimoro 5,1200 66,7359 71,8559
Jumlah Total 130,1526 1.259,7190 1.389,8716
Sumber : BPS Kabupaten Pacitan (Kabupaten Pacitan dalam Angka 2006)
A. PEMAPARAN MASALAH
Kabupaten Pacitan merupakan salah satu dari tiga kabupaten (2 kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Trenggalek dan Ponorogo) di wilayah Propinsi Jawa Timur yang keadaan geografisnya (ketinggian tempat) serta kondisi iklimnya (suhu) cocok untuk tempat tumbuh tegakan pinus. Dari 12 kecamatan di Kabupaten Pacitan, tegakan pinus banyak terdapat pada 6 kecamatan, yaitu Nawangan, Bandar, Tegalombo, Tulakan, Pringkuku, dan Punung, yang hampir sebagian besar dari tegakan pinus yang ada tersebut merupakan tegakan yang tumbuh di tanah milik penduduk atau hutan rakyat. Dengan asumsi tegakan pinus yang tumbuh dalam satu satuan luas lahan sebesar 30% dan total luas keseluruhan dari 6 kecamatan tersebut diketahui seluas 18.706,05 Ha, maka terdapat luasan tegakan pinus sebesar 5.611,8 Ha. Tegakan pinus dengan jarak tanam 3 x 3 m untuk luas lahan 1 Ha terdapat pohon pinus sejumlah 300 batang, maka jumlah total pohon pinus yang terdapat pada luasan lahan di 6 kecamatan tersebut adalah 1.683.540 batang. Dengan jumlah produksi getah rata-rata 10 gram/pohon/hari, maka produksi getah yang dihasilkan jika seluruh pohon tersebut disadap adalah 6.145 ton/tahun atau 512 ton/ bulan.
Kegiatan penyadapan getah pinus yang dilakukan oleh perusahaan kami hingga saat ini baru mampu menyadap 20.000 batang pohon pinus. Dengan jumlah produksi getah rata-rata 10 gram/pohon/hari, maka di atas kertas seharusnya produksi getah yang bisa dihasilkan sebesar 72 ton/tahun atau 6 ton/bulan, namun pada kenyataannya produksi getah yang dihasilkan masih di bawah 6 ton/bulan, yaitu pada kisaran 5 ton/bulan. Ketidaksesuaian antara jumlah produksi getah yang seharusnya bisa dihasilkan dengan jumlah produksi yang ada sekarang dipengaruhi secara garis besar oleh 3 faktor, yaitu :
1. Faktor alam
Jumlah produksi getah pinus dipengaruhi oleh musim, dimana produksi getah pada musim kemarau lebih besar daripada produksi getah di musim hujan. Hal ini disebabkan pada musim hujan unsur-unsur hara yang diperoleh oleh tumbuhan lebih ditujukan untuk pertambahan lingkaran tahun (pembentukan kayu awal) daripada produksi getah itu sendiri.
Pada musim kemarau karena tumbuhan dipengaruhi oleh faktor pembatas berupa air, maka laju pertambahan lingkaran tahun (pembentukan kayu akhir) lebih rendah dibandingkan pada musim hujan, dan unsur-unsur hara yang diperoleh oleh tumbuhan lebih banyak digunakan untuk memproduksi getah. Faktor perbedaan musim ini pun tidak berdiri sendiri, tetapi berpengaruh pula terhadap faktor manusia, dimana pada musim hujan para penyadap enggan untuk melakukan kegiatan penyadapan dan lebih memilih untuk memulai kegiatan bercocok tanam (berkebun dan menanam padi di sawah karena mata pencaharian pokok mereka sebagian besar adalah sebagai petani).
2. Faktor manusia
Faktor manusia secara umum bersumber pada pengutamaan pekerjaan pokok mereka (para penyadap) sebagai petani yang meletakkan kegiatan penyadapan hanya sebagai pekerjaan sampingan. Para penyadap umumnya tidak mau melakukan kegiatan penyadapan sebelum pekerjaan pokok mereka diselesaikan terlebih dahulu. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap etos kerja mereka, kesadaran kerja mereka untuk menyadap getah dengan hasil yang kurang optimal. Di samping persoalan tersebut, tentu dipengaruhi pula oleh keterbatasan energi mereka untuk melakukan dua pekerjaan secara bersamaan, yaitu sebagai petani sekaligus penyadap. Pola hubungan yang dijalin selama ini antara perusahaan dan penyadap yang masih sebatas hubungan antara penjual dan pembeli ansich, menyebabkan kurang adanya ikatan yang kuat, dimana hal tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap produktivitas kerja para penyadap.
3. Faktor modal
Faktor modal merupakan faktor yang penting dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Kelancaran kegiatan penyadapan ini, mulai proses pembelian getah dari penyadap secara kontan untuk tiap satu kali penimbangan per bulan hingga proses pengolahan dan penjualan dalam bentuk produk jadi, sangat bergantung pada ketersediaan modal yang cukup besar, minimal harus memiliki modal dua kali lipat karena dua pekerjaan ditangani sendiri, yaitu kegiatan produksi dan penjualan.